***
Judul: Surya, Mentari dan Rembulan | Pengarang: Sili Suli | Penerbit: Arti Bumi Intaran | Edisi: Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Maret 2019, 541 hlm, 20 cm | Status: Owned book | Harga: Free (banyak terima kasih untuk penulis) | Rating saya: 3 dari 5 bintang
***
***
Blurb
Novel ini berkisah tentang Surya, seorang gembala kerbau dari Toraja yang mendapatkan tugas dan amanah dari warga kampungnya untuk mencari Mataallo, adik Mentari, kekasihnya yang diculik sekelompok orang tak dikenal di pinggiran kota Rantepao. Tugas itu dipercayakan kepada Surya dan beberapa anak muda kampung Waka'. Untunglah, saat penculikan terjadi, ayah Mataallo sempat melakukan perlawanan dan meninggalkan tanda luka pada beberapa penculik Mataallo.
Pencarian ini berbuntut panjang, sehingga Surya dan dua temannya terpaksa berangkat ke Yogyakarta dengan bantuan Puang Lammai dan Tabib Istu. Sesampainya di Yogyakarta, ternyata Mataallo telah dijual kepada Raden Boedijono, seorang juragan batik asal Surakarta. Puang Yaser, salah seorang anggota Brigade Dhaeng berusaha membantu Surya dengan cara membeli kembali Mataallo dari tangan Raden Boedijono. Usaha Puang Yaser gagal karena Mataallo telah dijanjikan oleh Raden Boedijono untuk diserahkan kepada Koh Langgeng.
Untunglah seorang putri bangsawan Yogyakarta bernama Rembulan hadir disaat Surya dan teman-temannya telah putus asa membawa pulang Mataallo ke Toraja. Berkat bantuan ayah dan kakak Rembulan, Raden Boedijono akhirnya bersedia mengembalikan Mataallo kepada Surya. Tetapi Raden Boedijono meminta kompensasi bahwa Surya harus menggantikan Mataallo sebagai porter Koh Langgeng ke Nepal demi mewujudkan nazarnya untuk membawa abu jenazah kakeknya ke kaki Gunung Sagarmatha.
Overview
Mimpi apa saya sampai tahun ini dapat buntelan dua kali berturut-turut setelah sekian lama tidak dapat buntelan sama sekali. Buntelan pertama saya dapat dari Mbak Ren karena terpilih sebagai salah satu pemenang di reading challenge yang beliau adakan di blognya.
Buntelan kedua adalah buku Surya, Mentari dan Rembulan ini. Saya berterima kasih sekali kepada Mas Sili Suli yang bersedia memberikan bukunya secara cuma-cuma kepada saya dan menanggung ongkos kirim yang yang tidak sedikit untuk mengirimkannya ke alamat saya yang nun jauh di mato ini. *terharu*.
Sebelumnya, saya meminta maaf jikalau di dalam post review ini ada kata-kata yang membuat sakit hati. Swear, saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung siapa pun.
Saya akan mereview buku ini secara jujur berdasarkan apa yang saya rasakan baik sebelum, saat maupun setelah membacanya. Dan baik buruknya kesan saya nanti sama sekali tidak ada hubungannya dengan didapatnya buku ini secara gratis, *uhuk*.
Jujur, begitu buku ini sampai di tangan saya, saya jadi kepingin mundur teratur. Pertama, karena genre buku ini bukanlah genre favorit saya. Kedua, karena tebal buku ini 500 halaman lebih. Ketiga, karena menurut saya blurb-nya sudah merangkum isi cerita ini dengan baik.
Untungnya, blurb itu pulalah yang justru membuat saya penasaran. Cerita macam apa yang dikisahkan oleh buku ini sampai halamannya bisa setebal itu.
So, saya mulai baca halaman-halaman awal. Dan oalah, sambutan dari Mas Sili Suli panjang sekali. Tapi ini menjelaskan latar belakang kenapa novel ini ditulis dan buku-buku apa saja yang menginspirasi beliau.
Ngomong-ngomong, Sili Suli ini adalah mantan jurnalis yang senang mendaki gunung. Sekarang beliau adalah penulis biografi. Dan novel ini adalah terobosan pertama beliau sebagai pengarang buku fiksi. Hebatnya, beliau membagi-bagikan buku cetakan pertama ini secara gratis. Dan saya menjadi salah satu orang yang beruntung untuk mendapatkannya, *sujud syukur*.
Oke, kembali ke pembahasan novelnya. Saat saya membaca bab-bab awal, mulanya saya bingung dengan istilah-istilah khas daerah yang menjadi latar belakang novel ini. Tapi lama-lama kelamaan, saya mulai terbiasa. Dan tidak terasa, saya sudah menghabiskan setengah isi buku.
Well..well..well, ternyata ceritanya asik juga. Kisahnya sanggup memancing saya untuk terus dan terus membaca kisah ini sampai selesai.
Bagian yang paling saya suka dari novel ini adalah saat tokoh utamanya melakukan perjalanan ke Gunung Sagarmatha. Pemandangan yang dilihat oleh para tokoh novel ini dideskripsikan dengan indah. Somehow, bagian ini berhasil membuat saya jadi kepingin travelling ke gunung juga.. Keren deh pokoknya. Two thumbs up!
Saat saya masuk ke bab pertama novel. Saya langsung diperkenalkan dengan setting waktu dari novel ini, yaitu tahun 1884. Tapi anehnya, judul bab itu memuat kata yang setau saya, baru populer beberapa tahun belakangan ini. Penasaran, saya pun bertanya pada Om Google. Dan ternyata, Om Google bilang kalau kata tersebut sebenarnya memang sudah ada sejak tahun 1800-an itu, bahkan mungkin lebih lama lagi. Oke, masalah clear. Kata apakah yang saya maksud? Cuss...silakan baca sendiri bukunya, hohoho.
Untuk setting tempat, novel ini berlatar belakang di Toraja, Yogyakarta, Batavia, dan Nepal. Saya kurang bisa menangkap setting Toraja di tahun 1884 ini. Mungkin karena saya kurang familiar dengan daerah Toraja. Kemungkinan, fakta-fakta sejarah yang mendukung setting ini adalah dengan adanya adegan perbudakan dan masih terdapatnya acara adat yang mengorbankan manusia. Tapi entah kenapa, gara-gara kata populer yang saya sebutkan tadi, saya merasa setting waktu di Toraja ini adalah jaman sekarang, hahhah.
Sedangkan untuk Yogyakarta, setting 1884-an nya lebih terasa karena ada orang-orang Belanda beserta isu-isu untuk melawan penjajah tersebut yang ikut nongol. Jadi suasana tempo dulu-nya lebih dapat.
Untuk setting Nepal sendiri saya speechless. Saya sama sekali tak tau bagaimana keadaan Nepal sekarang ataupun ratusan tahun lalu. Jadi saya telan bulat-bulat saja, hohoho.
Judul buku ini ternyata diambil dari nama-nama karakternya, yaitu, Surya, Mentari dan Rembulan.
Surya adalah karakter utama pria. Seorang pemuda pengembala kerbau yang digambarkan sebagai pemuda yang senang berbuat kebaikan, serba bisa, sangat dipercaya oleh para tetua dan disenangi semua orang.
Karakter perempuannya adalah Mentari, pacarnya Surya. Digambarkan sebagai bunga desa, anak salah satu tetua adat di Kampung Waka'.
Karakter perempuan satunya adalah Rembulan. Digambarkan sebagai putri bangsawan Jogja yang sangat supel dan cantik.
Kemudian ada juga para tetua adat Toraja, teman-teman Surya -- sesama penggembala kerbau, saudagar-saudagar Celebes -- baik yang jahat ataupun yang baik, para bangsawan dan juragan batik di Yogyakarta dan masih banyak lagi.
IMO, karakter Surya sangat mendominasi. Mungkin judulnya seharusnya Surya saja, wkwkwk. Surya ini tipe pria yang biasa disebut "everybody's man". Selalu baik kepada setiap orang, sehingga berpeluang besar untuk dijadikan kekasih atau dijadikan calon menantu.
Kalau saya pribadi, tidak terlalu suka dengan tipe pria seperti ini karena sikap baiknya itu sering menimbulkan salah paham diantara para cewek, *uhuk*.
Penggambaran karakternya kalau menurut saya masih kurang. Sampai ceritanya selesai, saya masih tidak ngeh Surya, Mentari dan Rembulan ini pemuda dan pemudi sekitaran usia berapa. Atau bisa saja saya yang terlewat sih, hahhah, *kena keplak*.
Ceritanya beralur maju dan cepat. Gaya bahasanya saya rasa sedikit kurang luwes. Dialognya terkesan "too much". Tapi menurut saya pribadi, ini tidak masalah sih. Soalnya saya masih bisa menikmatinya dan tidak terasa tahu-tahu sudah tamat saja.
Kekhawatiran awal tentang ketidaksanggupan saya untuk membaca habis novel ini tidak terbukti. Buku ini bahkan melebihi ekspektasi karena saya bisa menamatkannya dalam waktu dua malam. Yang artinya lumayan cepat untuk standar saya.
Sedangkan untuk masalah penulisan, saya sudah diperingatkan akan keberadaan para typo, jadi it's ok. Lagian saya bukan orang yang bermasalah dengan typo. Asalkan saya masih bisa membaca tulisannya, maka tak apa. Paling yang lumayan mengganggu adalah typo penulisan tahun di halaman 401. Setting cerita yang awalnya tahun 1800-an tetiba jadi tahun 1900-an, hihihi, *sungkem sama editornya*.
Untuk tampilan bukunya, secara ketebalan, lumayan mengintimidasi, wkwkwk. Tapi tak apa, mulailah membaca, maka kalian akan terhanyut di dalamnya, *tsaaah*.
Untuk desain sampul. Secara sekilas, saya suka. Warna birunya itu loh, sangat instagrammable kalau menurut saya.
Sampulnya itu, kalau dilihat benar-benar, maka kalian akan menemukan dua gambar wanita cantik di kanan dan kiri atas. Tebakan saya mereka berdua adalah Mentari dan Rembulan. Sedangkan siluet hitam di tengah itu adalah Surya. Cuma saya masih ragu, di gambar itu Surya lagi sama siapa yak? Kerbaunya kah? *kok jadi bahas itu sih*, eh. Kemudian ada juga gambar bangunan yang menjadi ikon khas daerah-daerah yang dijadikan setting tempat di novel ini.
...selama ini istilah koteng jawa, digunakan untuk menyindir ulah para penjilat yang suka mengumbar saksi dusta bahkan fitnah untuk menghisap keuntungan dari orang-orang kaya atau tokoh masyarakat yang sedang bersaing dalam perebutan kursi kekuasaan. Makanya mereka sangat muak bila melihat para 'koteng jawa' beraksi membodohi orang yang diincarnya tanpa merasa terbeban dengan ulah mereka yang memuakkan. (hlm 171-172)
Buntelan kedua adalah buku Surya, Mentari dan Rembulan ini. Saya berterima kasih sekali kepada Mas Sili Suli yang bersedia memberikan bukunya secara cuma-cuma kepada saya dan menanggung ongkos kirim yang yang tidak sedikit untuk mengirimkannya ke alamat saya yang nun jauh di mato ini. *terharu*.
Sebelumnya, saya meminta maaf jikalau di dalam post review ini ada kata-kata yang membuat sakit hati. Swear, saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung siapa pun.
Saya akan mereview buku ini secara jujur berdasarkan apa yang saya rasakan baik sebelum, saat maupun setelah membacanya. Dan baik buruknya kesan saya nanti sama sekali tidak ada hubungannya dengan didapatnya buku ini secara gratis, *uhuk*.
Jujur, begitu buku ini sampai di tangan saya, saya jadi kepingin mundur teratur. Pertama, karena genre buku ini bukanlah genre favorit saya. Kedua, karena tebal buku ini 500 halaman lebih. Ketiga, karena menurut saya blurb-nya sudah merangkum isi cerita ini dengan baik.
Untungnya, blurb itu pulalah yang justru membuat saya penasaran. Cerita macam apa yang dikisahkan oleh buku ini sampai halamannya bisa setebal itu.
So, saya mulai baca halaman-halaman awal. Dan oalah, sambutan dari Mas Sili Suli panjang sekali. Tapi ini menjelaskan latar belakang kenapa novel ini ditulis dan buku-buku apa saja yang menginspirasi beliau.
Ngomong-ngomong, Sili Suli ini adalah mantan jurnalis yang senang mendaki gunung. Sekarang beliau adalah penulis biografi. Dan novel ini adalah terobosan pertama beliau sebagai pengarang buku fiksi. Hebatnya, beliau membagi-bagikan buku cetakan pertama ini secara gratis. Dan saya menjadi salah satu orang yang beruntung untuk mendapatkannya, *sujud syukur*.
Oke, kembali ke pembahasan novelnya. Saat saya membaca bab-bab awal, mulanya saya bingung dengan istilah-istilah khas daerah yang menjadi latar belakang novel ini. Tapi lama-lama kelamaan, saya mulai terbiasa. Dan tidak terasa, saya sudah menghabiskan setengah isi buku.
Well..well..well, ternyata ceritanya asik juga. Kisahnya sanggup memancing saya untuk terus dan terus membaca kisah ini sampai selesai.
Bagian yang paling saya suka dari novel ini adalah saat tokoh utamanya melakukan perjalanan ke Gunung Sagarmatha. Pemandangan yang dilihat oleh para tokoh novel ini dideskripsikan dengan indah. Somehow, bagian ini berhasil membuat saya jadi kepingin travelling ke gunung juga.. Keren deh pokoknya. Two thumbs up!
Setting
Untuk setting tempat, novel ini berlatar belakang di Toraja, Yogyakarta, Batavia, dan Nepal. Saya kurang bisa menangkap setting Toraja di tahun 1884 ini. Mungkin karena saya kurang familiar dengan daerah Toraja. Kemungkinan, fakta-fakta sejarah yang mendukung setting ini adalah dengan adanya adegan perbudakan dan masih terdapatnya acara adat yang mengorbankan manusia. Tapi entah kenapa, gara-gara kata populer yang saya sebutkan tadi, saya merasa setting waktu di Toraja ini adalah jaman sekarang, hahhah.
Sedangkan untuk Yogyakarta, setting 1884-an nya lebih terasa karena ada orang-orang Belanda beserta isu-isu untuk melawan penjajah tersebut yang ikut nongol. Jadi suasana tempo dulu-nya lebih dapat.
Untuk setting Nepal sendiri saya speechless. Saya sama sekali tak tau bagaimana keadaan Nepal sekarang ataupun ratusan tahun lalu. Jadi saya telan bulat-bulat saja, hohoho.
Karakter
Surya adalah karakter utama pria. Seorang pemuda pengembala kerbau yang digambarkan sebagai pemuda yang senang berbuat kebaikan, serba bisa, sangat dipercaya oleh para tetua dan disenangi semua orang.
Karakter perempuannya adalah Mentari, pacarnya Surya. Digambarkan sebagai bunga desa, anak salah satu tetua adat di Kampung Waka'.
Karakter perempuan satunya adalah Rembulan. Digambarkan sebagai putri bangsawan Jogja yang sangat supel dan cantik.
Kemudian ada juga para tetua adat Toraja, teman-teman Surya -- sesama penggembala kerbau, saudagar-saudagar Celebes -- baik yang jahat ataupun yang baik, para bangsawan dan juragan batik di Yogyakarta dan masih banyak lagi.
IMO, karakter Surya sangat mendominasi. Mungkin judulnya seharusnya Surya saja, wkwkwk. Surya ini tipe pria yang biasa disebut "everybody's man". Selalu baik kepada setiap orang, sehingga berpeluang besar untuk dijadikan kekasih atau dijadikan calon menantu.
Kalau saya pribadi, tidak terlalu suka dengan tipe pria seperti ini karena sikap baiknya itu sering menimbulkan salah paham diantara para cewek, *uhuk*.
Penggambaran karakternya kalau menurut saya masih kurang. Sampai ceritanya selesai, saya masih tidak ngeh Surya, Mentari dan Rembulan ini pemuda dan pemudi sekitaran usia berapa. Atau bisa saja saya yang terlewat sih, hahhah, *kena keplak*.
Alur, Gaya Bahasa, Look
Kekhawatiran awal tentang ketidaksanggupan saya untuk membaca habis novel ini tidak terbukti. Buku ini bahkan melebihi ekspektasi karena saya bisa menamatkannya dalam waktu dua malam. Yang artinya lumayan cepat untuk standar saya.
Sedangkan untuk masalah penulisan, saya sudah diperingatkan akan keberadaan para typo, jadi it's ok. Lagian saya bukan orang yang bermasalah dengan typo. Asalkan saya masih bisa membaca tulisannya, maka tak apa. Paling yang lumayan mengganggu adalah typo penulisan tahun di halaman 401. Setting cerita yang awalnya tahun 1800-an tetiba jadi tahun 1900-an, hihihi, *sungkem sama editornya*.
Untuk tampilan bukunya, secara ketebalan, lumayan mengintimidasi, wkwkwk. Tapi tak apa, mulailah membaca, maka kalian akan terhanyut di dalamnya, *tsaaah*.
Untuk desain sampul. Secara sekilas, saya suka. Warna birunya itu loh, sangat instagrammable kalau menurut saya.
Sampulnya itu, kalau dilihat benar-benar, maka kalian akan menemukan dua gambar wanita cantik di kanan dan kiri atas. Tebakan saya mereka berdua adalah Mentari dan Rembulan. Sedangkan siluet hitam di tengah itu adalah Surya. Cuma saya masih ragu, di gambar itu Surya lagi sama siapa yak? Kerbaunya kah? *kok jadi bahas itu sih*, eh. Kemudian ada juga gambar bangunan yang menjadi ikon khas daerah-daerah yang dijadikan setting tempat di novel ini.
Kutipan-Kutipan Favorit
...selama ini istilah koteng jawa, digunakan untuk menyindir ulah para penjilat yang suka mengumbar saksi dusta bahkan fitnah untuk menghisap keuntungan dari orang-orang kaya atau tokoh masyarakat yang sedang bersaing dalam perebutan kursi kekuasaan. Makanya mereka sangat muak bila melihat para 'koteng jawa' beraksi membodohi orang yang diincarnya tanpa merasa terbeban dengan ulah mereka yang memuakkan. (hlm 171-172)
Penyakit yang paling sulit disembuhkan dalam diri manusia adalah penyakit iri hati,kebencian, egois dan dungu (hlm 175-176)
Saudagar memang selalu berpikir selangkah lebih maju dibandingkan pekerja (hlm 190)
Dunia ini memang kadang aneh. Banyak orang miskin yang bekerja mati-matian, tetapi tetap saja miskin.. Sementara ada orang yang sudah kaya-raya, bekerja dengan santai, tetapi kekayaannya terus bertambah berkali-kali lipat. (hlm 197-198)
saat ini kita masih dikungkung oleh penjajahan, bukan hanya oleh penjajah asing, tetapi juga terjajah oleh cara berpikir kita yang sempit dan malas belajar, serta dari sifat-sifat iri hati terhadap kemajuan orang lain. Seharusnya kita lebih banyak belajar dari mereka yang lebih maju, agar nasib kita tidak selamanya berada di belakang, tetapi kelak bisa sejajar dengan orang-orang cerdas lainnya, dengan bangsa dan negara yang sudah lebih dulu maju. (hlm. 314)
dia memang ingin hidupnya bersinar melalui perbuatan baik terhadap sesama. (hlm. 343)
"Apalah arti hidup ini, bila kita tidak membantu sesama kita." (hlm. 339)
dia memang ingin hidupnya bersinar melalui perbuatan baik terhadap sesama. (hlm. 343)
"Apalah arti hidup ini, bila kita tidak membantu sesama kita." (hlm. 339)
At last...
Saya juga suka dengan latar belakang tempat berikutnya di Yogyakarta. Yogyakarta dengan keramahtamahannya, gunung Merapinya, penganan khasnya, bangsawan-bangsawan dan juragan-juragan batiknya juga XD
Dan latar tempat terakhir yang paling saya suka tentu saja Nepal dengan pemandangan danau-danau dan gunung-gunungnya yang keren.
Kemudian yang saya kurang suka dari novel ini adalah tokoh Surya. Tapi ini masalah pribadi saja sih, wkwkwk. Intinya, saya tak suka dengan Surya yang seperti lain di mulut lain di hati kalau sudah berhadapan dengan kekasihnya ataupun gadis cantik lainnya. Hidih, dasar cowok, saya jadi gemes. Tapi ketidaksukaan ini terbalaskan karena diakhir cerita, Ne' Bua' sepertinya mendukung pendapat saya, wkwkwk. Memangnya apa yang dilakukan oleh tetua adat yang paling dihormati ini kepada Surya? Hayoo silakan dibaca sendiri bukunya.
Kemudian, saya rasa judul buku ini kurang cocok dengan isinya. Pikiran pertama saya saat membaca judul buku dan blurb-nya adalah buku ini lebih dominan menceritakan tentang kisah roman anak muda. Tapi ternyata tidak. Buku ini lebih dari itu. Kisah cintanya hanyalah salah satu pelengkap. Buku ini lebih banyak menceritakan tentang kekayaan adat nusantara, keindahan alam, dan penyakit-penyakit sosial di masyarakat lewat petualangan tokoh bernama Surya. Tapi no problem lah, ini mungkin cuma perasaan saya saja, hahhah.
So, saya beri 3 dari 5 bintang untuk novel ini. Terutama untuk ceritanya yang mampu membuat saya untuk terus dan terus membacanya sampai tidak terasa sudah selesai saja. Keren! I liked it
Ceritanya menarik sekali. Cerita petualangan dibalut kisah cinta juga. Unsur budayanya juga menarik untuk dikulik. Beruntungnya Mbak Ira bisa membaca buntelan kece begini.
BalasHapusAlhamdulillah, saya merasa beruntung sekali ^^
HapusSetting 1884 ya mbak? Wew, sepertinya menarik. Secara udah lama banget ga baca novel dengan setting tahun segituan.
BalasHapusYap, tahun 1884, jarang memang kita nemu novel dengan setting tempo dulu seperti ini ^^
HapusSepertinya menarik, aku terbawa pas baca blurb nya aja.
BalasHapusApalagi setting waktunya masa lampau, jd penasaran dgn keindahan alam d tahuh itu. Pasti masih asri sekali.
Salam,
www.rizkyashya.com
Masih asri dan indah dan bisa bikin ngiri loh XD
Hapuswah tebal ya bukunya. biasanya kalau jurnalis bikin buku bahasanya bakal agak gimana gitu. heu. btw tadinya kupikir sili suli ini perempuan. hehe
BalasHapusYap, lumayan tebal Mbak. Tapi asik XD
HapusSekali lagi terima kasih Mbak Ira. Sukses dan sehat selalu buat
BalasHapusSama-sama Mas Sili Suli, sukses dan sehat selalu juga untuk Anda. Terima kasih kembali ^^
HapusJadi penasaran dengan buku ini....maturnuwun mbak Ira
BalasHapusSemoga berjodoh dengan bukunya juga ya. Terima kasih kembali ^^
Hapus