Bismillahirrahmanirrahim...
Hai...hai..., berjumpa kembali kita di event FBB Kolaborasi, sebuah event posting bareng bulanan dengan tema tertentu khusus untuk anggota komunitas Female Blogger Banjarmasin. Nah, bulan ini, temanya adalah Hari Pelanggan Nasional.
Hari Pelanggan Nasional...
Tema posting bareng bulan ini adalah Hari Pelanggan Nasional yang diperingati setiap tanggal 4 September. Setelah tanya-tanya Google, saya menemukan situs Hari Pelanggan Nasional. Dan setelah membaca halaman "About", saya menemukan kata-kata yang menarik perhatian saya seperti yang saya kutip di bawah ini:
Melayani pelanggan barangkali sudah menjadi kewajiban di banyak perusahaan. Namun mencoba memahami pelanggan sebagai jiwa bagi perusahaan mungkin belum berhasil diwujudkan. Boleh jadi karena kedudukan perusahaan selalu ada di atas pelanggan. Bisa juga karena mereka tidak pernah bisa memahami pelanggan.Memahami pelanggan bukanlah pekerjaan semusim. Harapan pelanggan yang selalu meningkat membuat semua pelanggan tidak pernah sepakat untuk mengatakan bahwa mereka benar-benar terpuaskan. Oleh karena itu Hari Pelanggan Nasional dapat menjadi momen yang tepat untuk memompa semangat perusahaan dalam memuaskan pelanggan.
Tidak ada kata terlambat, karena setiap perusahaan saat ini pun masih berjuang menemukan apa yang paling bernilai bagi pelanggan.
Sebagai seorang pelanggan, sisi angel dari diri saya mengatakan kalau kata-kata di atas manis sekali. Senang rasanya ketika mengetahui kalau setiap perusahaan selalu berusaha keras untuk memahami dan memuaskan pelanggan-pelanggannya.
Tapi sisi devil saya justru lebih fokus pada kata-kata di paragraf pertama. Tentang sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk melayani pelanggan. Tentang perusahaan yang belum bisa mewujudkan untuk mencoba memahami pelanggan sebagai jiwa perusahaan. Tentang perusahaan yang merasa selalu ada di atas pelanggan. Dan tentang perusahaan yang tidak pernah bisa memahami pelanggan.
Kesalahpahaman antara penerbit dan penimbun?...
Paragraf pertama tersebut mengingatkan saya pada timeline Twitter saya kurang lebih satu bulan yang lalu, dimana saat itu para pecinta buku sedang ramai membicarakan tweet dari salah satu penerbit yang menurut saya sangat terkenal.
Sayang, tweet tersebut sepertinya telah dihapus. Kalau tidak, mungkin bakalan saya screenshoot dan tampilkan di sini, ehehehe, *jahat*.
Tweet tersebut seingat saya bunyinya begini:
Kok ada ya orang yang membeli buku tapi tidak dibaca?
Perasaan saya ketika membaca tweet tersebut sebenarnya adalah biasa saja. Karena saya akan menjawab pertanyaan tersebut dengan "Ya, ada. Itu saya."
Yeap, saya termasuk orang yang dimaksud, hihihi. Saya sering membeli buku tapi tidak langsung saya baca alias ditimbun dulu, bacanya ntar nanti kapan-kapan kalau sempat, *kena timpuk*.
Bahkan kadang ada yang hanya saya baca beberapa lembar karena ternyata bukunya "not my cup of tea". Kalau sudah begitu, biasanya bukunya bakalan saya jual kembali atau saya jadikan hadiah giveaway, ehehehe, *dikeplak masa*.
Yang membuat saya kaget dan pada akhirnya merubah pandangan saya adalah justru reaksi sebagian teman-teman booklovers di Twitter. Banyak yang merasa...errrr..."tidak nyaman" dengan tweet tersebut.
Alasannya adalah karena buku tersebut sudah mereka beli dengan uang mereka sendiri, jadi bukunya mau langsung dibaca atau ditimbun dulu mereka rasa adalah hak mereka.
Beda ceritanya kalau buku tersebut didapat dari hasil "buntelan" dengan syarat dan ketentuan tertentu.
Baca juga: Saya dan Ordo Buntelan
Dan yang membuat saya lebih kaget lagi adalah beberapa teman book blogger bilang kalau sindiran terhadap para penimbun buku ini bukan hanya sekali, tapi sudah berkali-kali dan bukan hanya oleh satu penerbit. Wah..wah..sabar ya teman-teman.
Honestly, saya lebih setuju dengan para booklovers. Saya rasa para penerbit tersebut mungkin harus berterima kasih kepada para penimbun buku karena masih berkenan membeli buku legal terbitan mereka di tengah rendahnya minat baca Indonesia dan kecenderungan orang-orang untuk lebih memilih membaca buku bajakan.
Baca buku: Di Sini Sepi
Selain itu, buku juga bukanlah kebutuhan primer, hanya orang-orang tertentu yang mau menyisihkan sekian persen dari penghasilannya untuk membeli buku cetak atau digital asli yang harganya masih cukup mahal kalau menurut standar kantong saya, hohoho.
Tentang keharusan untuk langsung membaca, well, memang idealnya seperti itu sih ya. Ketika sebuah buku baru terbit, kita beli bukunya, langsung kita baca, terus kita rusuhin tentang bagusnya buku tersebut ke orang sekitar dan media sosial mumpung lagi hangat-hangatnya, terus orang lain pada tertarik untuk membeli dan membaca buku itu juga, jadi penjualan buku dari penerbit tersebut meningkat. Mungkin itu kali ya maunya si penerbit. Mungkin juga sih, *sotoy mode on*
Alasan saya menjadi seorang penimbun...
Nah, mumpung lagi momen Hari Pelanggan Nasional, saya akan menjelaskan alasan kenapa saya sebagai seorang pelanggan buku tidak selalu langsung membaca buku yang saya beli. Mungkin ini bisa menjadi bahan untuk kalian dalam rangka "memahami pelanggan", *uhuk*. Itu juga kalau kalian baca sih, wkwkwk.
Saya tidak tahu apa alasan para penimbun lain untuk menimbun buku mereka. Tapi untuk saya pribadi, "so many books, so little time" adalah salah satu alasan kenapa saya menjadi seorang penimbun buku.
Baca juga: Hukum Kekekalan Timbunan
Sejak resmi melepas status "jomlo pengangguran", timbunan buku saya jadi semakin tinggi. Saya tidak bisa bebas membaca buku saat jam kerja bahkan di saat jam istirahat sekalipun karena akan beresiko dibilang makan gaji buta, *eh*. Saya juga tidak bisa langsung membaca buku setelah pulang kerja karena pekerjaan rumah tangga yang sudah menanti. Belum lagi waktu untuk suami dan anak. Sekarang saya hanya bisa tenang membaca buku saat orang rumah sudah pada tidur, *uhuk*.
Terus kenapa saya beli kalau ujung-ujungnya ditimbun juga? Kenapa tidak dibeli pas nanti kira-kira punya waktu luang untuk membaca saja?
Hmmm, itu karena saya pernah menunda-nunda membeli sebuah buku. Mengira buku tersebut bakalan masih nangkring manis di toko buku menunggu saya menjemputnya. Eh ternyata saya salah. Buku tersebut ternyata sudah habis terjual saat saya datang kembali untuk membelinya dan sampai sekarang tidak pernah dicetak ulang lagi, *hiks*.
Jadi semoga alasan ini bisa diterima, wkwkwk. Ketika keinginan untuk membeli buku datang, saya tidak pernah terpikir untuk tidak membaca mereka. Saya benar-benar ingin membaca mereka, makanya saya beli.
Hanya saja keinginan saya untuk membeli dan membaca sebuah buku kadang tidak bisa dibendung. Kadang saya bisa kalap tak ketulungan. Dan hal ini tidak dibarengi dengan tambahan waktu yang saya punyai untuk langsung membaca mereka.
Baca juga: Bookish Confession
Pergeseran pertimbangan saya ketika ingin membeli sebuah buku...
Meskipun "rusuh" akibat tweet penerbit tersebut tidak sampai membuat saya ikut an rusuh juga di Twitter, tapi somehow, sedikit banyak hal tersebut jadi mempengaruhi pertimbangan saya untuk membeli sebuah buku.
Dulu, saya sama sekali tidak ragu untuk membeli buku yang menarik hati saya. Sekarang saya jadi kebanyakan mikir dan kebanyakan ujung-ujungnya tidak jadi beli.
Entah kenapa saya jadi terus kepikiran tentang penerbit yang mungkin ilfil karena bukunya dibeli tapi tidak langsung atau tidak bakalan pernah dibaca. Jadi lebih baik tidak saya beli saja daripada nanti membuat mereka sakit hati kan?, hahhah, *jadi nyinyir*. Ntah sampai kapan baperan saya tentang hal ini berakhir, wkwkwk.
Sisi positifnya, saya jadi lebih hemat dan sedikit demi sedikit mulai bisa mengurangi timbunan buku saya. Saya bahkan optimis bahwa nanti akhirnya, dalam waktu dekat, semua timbunan saya akan habis saya baca. InsyaAllah.
Sisi negatifnya mungkin nanti saya bakalan menyesal kalau kejadian buku habis stok dan tidak dicetak ulang lagi seperti dulu itu terulang kembali.
Saya jadi kepikiran juga tentang betapa tingkah laku perusahaan bisa mempengaruhi reaksi pelanggan untuk tetap membeli atau menggunakan jasa mereka. Keliru sedikit saja kemungkinan bisa berdampak besar.
Saya sedikit ngeri juga ketika melihat banyak diantara teman-teman yang kontra terhadap tweet tersebut sebenarnya adalah pecinta buku yang sama sekali tidak ragu menyisihkan penghasilan mereka untuk membeli buku sebanyak apapun yang mereka mau. Semoga mereka tidak baperan seperti saya dan tetap rajin membeli buku, hihihi.
Kesalahpahaman antara penulis dan kritikus buku...
Peristiwa ini juga jadi mengingatkan saya kepada seorang penulis terkenal yang ilfil kepada kritikus buku. Kata-kata beliau yang tajam terhadap para kritikus buku masih betah nangkring di salah satu media sosialnya padahal hal itu sudah berlangsung cukup lama.
Kata-kata tersebut masih mempengaruhi saya sampai sekarang. Keinginan saya untuk membaca buku-buku beliau jadi "bablas". Padahal beberapa waktu sebelum itu, buku-buku beliau sempat menjadi antrian buku berikutnya yang bakalan saya baca.
Saya sudah berusaha keras untuk mencoba membaca buku beliau kembali dan mengabaikan kata-kata itu karena saya sama sekali tidak menganggap diri saya sebagai seorang kritikus buku profesional dan saya tidak pernah mengkritik buku beliau atau setidaknya saya rasa tidak pernah, *selfkeplak*. Tapi entah kenapa saya jadi keingat terus, huhu.
Saya tidak tahu mesti senang atau tidak karena ada beberapa pecinta buku lain yang juga masih merasakan hal yang sama.
Masalahnya, kata-kata beliau ini terasa mengarah kepada para book reviewer di media sosial, baik yang sudah profesional maupun yang masih kemarin sore seperti saya.
Yang saya sayangkan adalah para book reviewer ini setahu saya adalah orang-orang yang sudah berkomitmen untuk selalu membeli ataupun membaca buku legal baik yang digital ataupun cetak. Orang-orang yang masih bisa meluangkan waktu mereka untuk membaca buku. Dan orang-orang yang masih sempat memberikan feedback pula berupa kesan, pesan, kritik atau saran yang jujur terhadap terhadap buku yang mereka baca.
Meskipun saya akui kadang para book reviewer ini memang ada kata-katanya yang kelewat pedas sih ya. Bisa dimaklumi kalau beberapa penulis jadi tersinggung dan marah karena bisa berefek ke jumlah penjualan buku mereka.
Tapi saya rasa kurang bijak juga jika mereka membalas dengan sama pedasnya karena kemungkinan bisa menjatuhkan image mereka sebagai seorang public figure dan ujung-ujungnya juga bisa berpengaruh ke keinginan seseorang untuk membaca buku karya mereka.
Seandainya saja si penulis tadi tahu seberapa banyak pembaca yang memuji-muji karya beliau tanpa cela tapi ternyata merekalah orang-orang yang membaca buku beliau yang versi digital bajakan.
Seriously, saya pernah bertemu dengan mereka. Mereka semangat sekali merekomendasikan buku karya beliau untuk dibaca dan dengan murah hati bersedia membagikan buku bajakan dengan format pdf secara gratis.
Setelah dikasih tahu kemungkinan besar pdf yang mereka bagikan itu termasuk buku bajakan, mereka bilang, "oh maaf kami tidak tahu", tapi tetap saja ada yang nge-share, hahhah, whatever.
Tapi yang paling membuat saya was-was adalah ketika mendengar mereka punya rencana untuk mengundang si penulis dalam sebuah acara temu penulis.
Yang mengikuti media sosial si penulis dan sering membaca bagaimana kerasnya status beliau terhadap pembaca buku-buku bajakan mungkin bisa membayangkan bagaimana reaksi beliau jika acara temu penulis ini benar-benar terlaksana dan mungkin saja ada yang keceplosan sehingga si penulis mengetahui bahwa para penggemar yang mengundang beliau inilah yang ternyata telah membaca dan saling sharing buku beliau versi digital bajakan.
Jadi, IMO, saya rasa, penerbit dan penulis yang saya maksud di atas memulai "rusuh" dengan orang-orang yang kurang tepat. Mereka mungkin belum memahami pelanggan, atau merasa sudah terkenal dan menjadi terlalu merasa berada di atas pelanggan. Tapi entahlah, itu cuma dugaan saya saja, jadi jangan terlalu dianggap serius, ehehehe.
At last, dimomen Hari Pelanggan Nasional ini, saya sebagai seorang pelanggan berharap baik perusahaan ataupun pelanggan sendiri bersikap sopan dan tidak berlebihan menyampaikan kritik jika satu atau kedua belah pihak tidak merasa puas terhadap produk atau feedback yang diberikan oleh masing-masing pihak. Semoga semua tujuan yang melatarbelakangi ditetapkannya Hari Pelanggan Nasional ini bisa diwujudkan.
Selamat Hari Pelanggan Nasional ya teman-teman \^_^/
- Jika berkenan, follow blog irabooklover atau tambahkan di blogroll/bloglist/daftar bacaan kalian ;)
- Buat blog post yang berisi bookish talk
- Jika berkenan, sertakan juga button/gambar #SaturdayTalk di dalam postingan kalian dengan link menuju post ini XD
- Silakan tinggalkan link postingan kalian di kolom komentar post ini.
- Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah menshare bookish talk-nya di hari Sabtu \^_^/
Wah tulisannya menarik banget nih. Kak Iraaa aku juga tipe penimbun XD Kalau aku sih kerasa berat pas lagi pengen beli buku ternyata harganya mahal dan nggak ada uang untuk itu padahal pengen, jadi judulnya kucatet pas lagi diskon, ya hajar! Alasan jadi penimbun ya itu tadi pas diskon belinya banyak. Sengaja buat dicicil aja bacanya.
BalasHapusKujuga setuju pas udah beli, baca 10an lembar malah ngga sreg XD ide utk menjual sudah ada tapi belum terlaksana. Tengkyuu kak ide buat jual lagi dan giveaway nih bisa diterapin (y)
Hihihi, you're welcome, MalMal ^_^
HapusEntah kenapa aku kalo abis beli buku harus langsung dibaca wkwk, tapi ada juga buku yang udah 3 tahun belum kubaca ��
BalasHapusWah Elvin keren, buku-bukunya jadi tak perlu nunggu lama buat dibaca.
HapusKalau saya tak salah ingat ada buku di timbunan yang sudah 8 tahun-an belum juga saya baca, *eh*, *kena timpuk*.
Saya jadi penisirin deh sama penerbit yang ngetweet itu, hahaha. Soalnya, sebelumnya saya juga pernah baca keluhan dari book blogger tentang hal ini. Hehehe, tapi yasudahlah.
BalasHapusKalau saya sih memang senang menimbun buku dan nggak masalah dibilang seperti itu. Kondisinya mirip sama Mbak Ira, kalau ada diskon, kenapa nggak langsung beli banyak buku incaran?
Selain itu, ada beberapa buku yang emang saya pengen punya aja (buku-buku referensi tebal kayak buku sirah gitulah). Walaupun bacanya kadang selembar-lembar, dengan memiliki buku tersebut, hati saya senang. Wkwk. (Pokoknya mah saya penganut aliran 'harus memiliki') :D
Setuju sekali, yang penting hati kita senang karena sudah memiliki buku tersebut, wkwkwk
HapusMenarik, kak :)
BalasHapusPernah nemu pemikiran "Kalau review buku usahakan yang baik-baiknya. Meski ada yang kurang baik, coba ditahan" . Cuma kalau ada buku yang dirasa mengecewakan lalu kita hanya bahas hal2 bagusnya saja, takutnya kita justru menjerumuskan orang lain :)
Meski semua kembali kepada orang yg baca review/pembeli buku, tetap saja kadang review orang itu ikut jadi pertimbangan. Kasihan pembeli/epembaca review kalau yang diangkat sisi menariknya saja. Ini bisa jadi kasus "not my cup of tea" karena kemakan review bagus, ternyata ada sisi ga gregetnya dalam suatu buku (apalagi sisi ga gregetnya kebetulan besar banget dampaknya buat pembaca). Meski keunggulan/kelemahan buku bisa subjektif, setidaknya kita dapat gambaran tentang buku itu. Tinggal pilah aja apakah keunggulan/kelemahan yg disampaikan reviewer itu termasuk keunggulan/kelemahan juga buat kita? atau engga?
Saya sekarang sering dengar istilah "review berimbang" dari para penerbit atau penulis, hihihi.
HapusYap benar sekali, itulah resensi kalau menurut saya, keunggulan/kelemahan harus disampaikan, biar adil buat para penerbit/penulis dan juga para calon pembaca ^^
Saya termasuk penimbun buku. Sebagian besar karena tidak sengaja. Hanya karena saya belum ada waktu untuk membacanya. Ada juga sebagian saya beli karena saya ingin menjadikannya aset semacam harta yang bisa diwariskan. Saya tidak suka para pembajak buku. Orang yang suka memei buku bajakan, saya yakin, dia tidak pernah menulis novel seumir hidupnya.
BalasHapusAh iya bener Mbak, saya juga sering membeli buku sebagai aset untuk diwariskan.
HapusSemoga para pembajak dan pembaca buku bajakan itu segera sadar bahwa perbuatannya itu merugikan orang lain ^^
I know what Kak Ira feel ketika menunda beli buku eh pas mau beli ternyata sold out. Syedihh. Tp penerbit nyinyir kyagitu ngeselin jg sh, udahh mending kita beli buku terbitannya, masalah dibaca atau ngga kan hak masing2 orang.. eh btw btw Kak Ira biasanya jual buku preloved nya dimana ya kak? Atau tau tempat menyumbang buku gitu ngga? Soalnya aku mau menyumbangkan/jual beberapa novel ku nih udh menuhin tempat hehe ditunggu balasannya kak
BalasHapusSaya jual buku pribadi saya di marketplace, hihihi.
HapusKalau mau nyumbangkan biasanya saya jadikan giveaway diblog atau saya kasih sebagai buku gratis dengan syarat harus dibaca dan dibikin reviewnya dalam kurun waktu tertentu di komunitas Duta Baca HSU untuk mendukung program #HSUGemarMembaca, yes!!! Info lengkapnya bisa dijapri yak, ehehehe
Penimbun adalah jalan ninjaku...
BalasHapusSalam dari sesama penimbun XD
HapusDalem banget nah Kak Ira ini nulisnya. Dari awal sampai akhir membuat saya akhirnya berkata bahwa saya semakin yakin kalau saya semakin jauh dari buku, huhu. Saat ini entah kenapa lagi doyan baca komik aja.
BalasHapusSaya baru tahu soal tweet yang dihapus dan status penulis itu. Wah, bisa dibilang hampir semua dari kita penimpun buku padahal wkwkw. Aku dan suamiku pun hehe
IMO, komik juga buku kok Mbak, yang penting baca, yes!!!
HapusHoreee, toss dulu kita sebagai sesama penimbun XD
Ternyata nggak hanya saya saya yang jadi penimbun. Pasti banyak sih. Dan asalan kita kurang lebih sama. Takut kalau bukunya habis. Akhirnya ada 30% buku di rumah yang saat ini belum dibaca. Maafiin
BalasHapusDan harusnya baik penulis/penerbit harus paham itu. Siapa tau pas kita baca 2 tahun setelah beli, kita review dengan menarik, eh bukunya jadi dicari2 orang dan akhirnya di produksi lagi. Yakan yakan yakan
Aku pernah baca, ada seorang penulis naik kereta api. Disebelahnya ada orang duduk lagi baca buku dia (bajakan). Si penulisnya ini cuma nanya : suka sama bukunya? kok beli bajakan? Terus dia blg untung si pembaca nggak mengenali dia si penulis buku.
Aku sangat keras sih perihal buku bajakan ini kak Ira. Karena sayang bgt sama penulisnya. Soalnya aku tipe kalau suka sama 1 penulis bakalan cari bukunya dari buku pertama sampai terbaru. Hehehe.
Tenang saja, penimbun ada banyak, bahkan ada ordonya, hihihi.
HapusSetuju banget, seharusnya para penerbit atau penulis itu paham, ntah apa yang membuat mereka sampai akhirnya ngedumel seperti itu, hahhah.
Setuju, semoga para pelaku pembajakan buku ini segera sadar ya, sedih melihatnya.
Antara buku dan harpelnas jadi inget dg bazaar. Di bazaar itu jd memanjakan konsumen agar menjadi pelanggan & yg sdh jadi pelanggan akhirnya tetap setia.
BalasHapusbener banget Mbak, bazar bisa menjadi salah satu cara untuk memanjakan konsumen, apalagi kalau ada yang bersedia mengadakan bazar di kota-kota kecil, bukan hanya di kota besar, duh makin disayang deh XD
HapusWah baru tau nih tentang sindiran "beli buku tapi tidak dibaca". Aku juga gitu, biar beli aja sih dulu nanti kalau udah waktunya pasti bakal dibaca kok. Hahaha ada-ada aja ya, padahal emang haknya si pembeli, mau diapakan saja bukunya setelah mereka beli.
BalasHapusTuh iya kan, hihihi. Ntah apa yang bikin penerbit itu sampai ilfil sama para penimbun XD
HapusBenar - benar booklover sejati kak ira ini. Tulisannya deep dan detail banget. Sat baca part tentang buku bajakan, aku jadi ngerasa bersalah dulu sering beli buku kuliah yang bajakan, karna yang aslinya harganya jutaan.
BalasHapusSeandainya buku harganya lebih murah, mungkin pembajakan bisa dikurangi yak ^^
Hapuskalau aku sekarang bisa dibilang lebih jarang beli buku tapi kalau buka buat anak masih beli beberapa bulan sekali. alasan nggak beli buku lagi karena ya kadang nggak kebaca karena belinya pas diskon dan harga buku sekarang lumayan mahal. hehe
BalasHapusbenar banget Mbak, buku-buku sekarang harganya jadi lebih mahal, hiks
Hapushahahahaha ini aku dl juga gt, suka banget nimbun buku.lama2 buku byk hahaha...tp akhirnya sebagian udah disumbang2in huhu, siapa tau berguna buat org lain juga
BalasHapusskrg lebih suka pinjem perpusda aja , pinjem baca trus balikin deh haha...
Hidup perpusda, yes!!! XD
Hapus