***
Judul: Last Forever | Pengarang: Windry Ramadhina | Penerbit: Gagas Media | Edisi: Bahasa Indonesia, Cetakan II, Jakarta, 2015, vi + 378 hlm; 13 x 19 cm | Status: Pinjam di Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara | Rating saya: 4 dari 5 bintang
***
Blurb...
“Seharusnya, aku tidak boleh mengharapkanmu. Seharusnya, aku tahu diri. Tapi, Lana..., ketakutanku yang paling besar adalah... aku kehilangan dirimu pada saat aku punya kesempatan memilikimu.” — Samuel
“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana
Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?
Ngomong-ngomong, tema yang diangkat oleh novel ini nge-jleb banget. Bagi teman-teman yang sering main medsos, tentu pernah sesekali menemukan trending topic tentang pilihan hidup antara menikah atau tidak menikah.
Nah, dua tokoh utama kita di sini, Lana dan Samuel, sama-sama anti komitmen. Kata pernikahan tidak ada di kamus mereka.
Lana Lituhayu Hard, adalah seorang gadis blasteran Indonesia-Amerika yang bekerja sebagai seorang produser di National Geographic Channel di Washington. Lana sangat mencintai pekerjaannya. Dia senang pergi ke tempat-tempat eksotis di berbagai belahan dunia. Menurutnya, pernikahan hanya akan membuatnya kehilangan semua itu.
Samuel Hardi, adalah seorang produser sekaligus sutradara film dokumenter yang sangat hebat. Di usia yang masih muda, dia pernah menyabet penghargaan bergengsi. Tak lama kemudian, dia sudah punya studio film sendiri. Jika National Geographic ingin membuat film dokumenter di Indonesia, maka studio film Hardi lah yang dipilih untuk bekerja sama. Sedangkan soal penampilan fisik, Samuel adalah tipe pria yang menjadi pujaan kaum hawa. Dia terkenal sebagai playboy. Menurutnya, pernikahan hanya akan menghilangkan keasyikan itu.
Masalah jarak dan sibuknya pekerjaan masing-masing membuat mereka jarang bertemu. Dan itu juga membuat Samuel dan Lana masing-masing menjadi spesial bagi satu sama lain.
Di pertemuan yang jarang itu, mereka berkencan dan bercinta. Dan setelah itu, Lana akan meninggalkan Samuel begitu saja untuk pulang ke Washington. Dan Samuel harus menunggu pertemuan mereka selanjutnya lagi untuk melampiaskan rasa frustasi sekaligus rasa rindu.
Ya, hanya Lana yang bisa meninggalkan Samuel seperti itu. Dan Samuel tidak bisa marah karenanya. Lana juga tidak bisa marah dengan gaya hidup Samuel yang suka gonta-ganti cewek saat dia tidak ada. Mereka benar-benar tidak ingin terikat.
Hubungan anti komitmen mereka ternyata mengalami masalah. Sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang memaksa keduanya untuk mulai memikirkan komitmen.
Tema yang diangkat oleh novel ini sangat bagus. Tentang persoalan hidup antara menikah atau tidak menikah. Siapa pun yang masih berdebat tentang hal itu, saya rasa cocok sekali membaca buku ini agar bisa lebih mengendorkan urat leher yang terlanjur kencang. *ehem, kena keplak*.
Ibu Lana adalah seorang penari profesional dari Indonesia yang sudah pernah pentas di berbagai panggung di seluruh dunia. Tetapi di saat karirnya sedang bagus-bagusnya, dia jatuh cinta dengan ayah Lana, seorang jurnalis sederhana dari Amerika. Gaji ayahnya tidak cukup untuk meminta bantuan seorang baby sitter untuk menjaga anak mereka. Dan tebak siapa yang harus mengalah meninggalkan profesinya? Jawabannya tentu saja ibu Lana.
Sang ibu harus meninggalkan dunia tari yang sangat dicintainya demi keluarga. Lana pernah mengintip ibunya menari sendiri diam-diam di rumah dengan latar belakang cahaya senja. Bagi Lana, ibunya tampak seperti malaikat. Tapi kemudian seperti malaikat yang sayapnya patah, di tengah-tengah tariannya, ibu Lana menangis.
Lana yakin tangisan itu adalah tangisan penyesalan karena sang ibu tidak bisa menari lagi karena terjebak dalam sebuah komitmen. Sejak saat itu, Lana menjadi anti komitmen. Dia tidak akan mau mengalah dan mengorbankan karirnya.
Lalu bagaimana akhir kisah Lana dan Samuel? Apakah merekah akhirnya menyerah pada komitmen? Atau keduanya tetap memilih ego mereka masing-masing? Hayuuuk dibaca sendiri bukunya, hihihi.
“Untuk berada di sisimu, aku harus membuang semua yang kumiliki. Duniaku. Apa kau sadar?” — Lana
Dua orang yang tidak menginginkan komitmen dalam cinta terjerat situasi yang membuat mereka harus mulai memikirkan komitmen. Padahal, bagi mereka, kebersamaan tak pernah jadi pilihan. Ambisi dan impian jauh lebih nyata dibandingkan cinta yang hanya sementara. Lalu, bagaimana saat menyerah kepada cinta, justru membuat mereka tambah saling menyakiti? Berapa banyak yang mampu mereka pertaruhkan demi sesuatu yang tak mereka duga?
My Review...
Aaaaaaaaaaaaaaaaa...saya suka sekali sama karya Windry Ramadhinaaaaaa!!!, *teriak pakai TOA*. Ini adalah buku ketiga beliau yang saya baca. Pertama adalah Memori, yang kedua Interlude. Tiga-tiganya saya suka dan tiga-tiganya saya pinjam dari perpustakaan, *eh*, *selfkeplak*. Sebenarnya saya sudah lama ingin mengoleksi semua buku Mbak Windry, tapi karena saya penggemar buku fantasi, jadi buku-buku roman selalu kalah prioritas. Mohon doanya semoga suatu hari nanti saya bisa mengoleksi semua novel karya Mbak Windry yak. Aamiin.Ngomong-ngomong, tema yang diangkat oleh novel ini nge-jleb banget. Bagi teman-teman yang sering main medsos, tentu pernah sesekali menemukan trending topic tentang pilihan hidup antara menikah atau tidak menikah.
Nah, dua tokoh utama kita di sini, Lana dan Samuel, sama-sama anti komitmen. Kata pernikahan tidak ada di kamus mereka.
Lana Lituhayu Hard, adalah seorang gadis blasteran Indonesia-Amerika yang bekerja sebagai seorang produser di National Geographic Channel di Washington. Lana sangat mencintai pekerjaannya. Dia senang pergi ke tempat-tempat eksotis di berbagai belahan dunia. Menurutnya, pernikahan hanya akan membuatnya kehilangan semua itu.
"Kau mudah saja bicara pernikahan. Buatmu, mungkin itu sakral dan indah, seperti dongeng yang berakhir bahagia selama-lamanya. Buatku, pernikahan berarti meninggalkan semua yang kumiliki saat ini." ---hlm. 313
Samuel Hardi, adalah seorang produser sekaligus sutradara film dokumenter yang sangat hebat. Di usia yang masih muda, dia pernah menyabet penghargaan bergengsi. Tak lama kemudian, dia sudah punya studio film sendiri. Jika National Geographic ingin membuat film dokumenter di Indonesia, maka studio film Hardi lah yang dipilih untuk bekerja sama. Sedangkan soal penampilan fisik, Samuel adalah tipe pria yang menjadi pujaan kaum hawa. Dia terkenal sebagai playboy. Menurutnya, pernikahan hanya akan menghilangkan keasyikan itu.
"Percayalah, menikah cuma akan menghilangkan keasyikan. Begitu terikat, lelaki dan perempuan berubah membosankan. Segala hal, bahkan seks, mereka lakukan semata-mata karena rutinitas dan kewajiban. Lalu, salah satu atau keduanya mulai menginginkan pasangan baru. Ujung-ujungnya mereka berpisah, Kalaupun tidak, mereka saling membenci sampai mati." ---hlm. 15
Lalu seperti apa hubungan Lana dengan Samuel?
Yaaah, Lana jatuh cinta pertama kali dengan film Samuel, bukan dengan orangnya, hihihi. Mereka kemudian bertemu dan saling tertarik satu sama lain. Mereka mempunyai kesamaan. Sama-sama suka film dan sama-sama tidak menginginkan komitmen.Masalah jarak dan sibuknya pekerjaan masing-masing membuat mereka jarang bertemu. Dan itu juga membuat Samuel dan Lana masing-masing menjadi spesial bagi satu sama lain.
Di pertemuan yang jarang itu, mereka berkencan dan bercinta. Dan setelah itu, Lana akan meninggalkan Samuel begitu saja untuk pulang ke Washington. Dan Samuel harus menunggu pertemuan mereka selanjutnya lagi untuk melampiaskan rasa frustasi sekaligus rasa rindu.
Ya, hanya Lana yang bisa meninggalkan Samuel seperti itu. Dan Samuel tidak bisa marah karenanya. Lana juga tidak bisa marah dengan gaya hidup Samuel yang suka gonta-ganti cewek saat dia tidak ada. Mereka benar-benar tidak ingin terikat.
Namun bisakah hubungan antara pria dan wanita berlangsung seperti itu selamanya?
Hmmm...sepertinya tidak, ya? Bahkan bagi Lana dan Samuel yang menganut paham kebebasan ala barat.Hubungan anti komitmen mereka ternyata mengalami masalah. Sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang memaksa keduanya untuk mulai memikirkan komitmen.
Tema yang diangkat oleh novel ini sangat bagus. Tentang persoalan hidup antara menikah atau tidak menikah. Siapa pun yang masih berdebat tentang hal itu, saya rasa cocok sekali membaca buku ini agar bisa lebih mengendorkan urat leher yang terlanjur kencang. *ehem, kena keplak*.
"Dia dan Pat punya ideologi yang berbeda---kalau bukan bertolak belakang. Berdebat sepanjang apa pun, mereka tidak akan bisa menyamakan cara pandang mereka mengenai situasi ini." -- hlm. 132Menurut saya, perdebatan jenis ini hanya bisa dijawab oleh takdir Tuhan, *uhuk*. Kita boleh saja keras kepala seperti batu tentang masing-masing pilihan hidup ini, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kita dihari esok. Kita bahkan tidak tahu dengan pasti apa yang terjadi dengan kita ditarikan napas berikutnya. Mungkin saja nanti terjadi "sesuatu" seperti kedua tokoh utama kita di atas. Sesuatu yang membuat mereka mulai harus mempertimbangkan untuk berpindah ke sisi yang sebelumnya mereka pandang sebelah mata. Jadi banyak-banyaklah berdoa kepada Tuhan agar memberikan jalan yang terbaik untuk kita, *religius mode on*.
Tentang Wanita yang Selalu Mengalah
Buku ini juga menyinggung isu tentang mengapa wanita yang tampaknya selalu mengalah di dalam sebuah pernikahan. Alasan lain bagi Lana atas sikapnya yang selama ini selalu anti komitmen.Ibu Lana adalah seorang penari profesional dari Indonesia yang sudah pernah pentas di berbagai panggung di seluruh dunia. Tetapi di saat karirnya sedang bagus-bagusnya, dia jatuh cinta dengan ayah Lana, seorang jurnalis sederhana dari Amerika. Gaji ayahnya tidak cukup untuk meminta bantuan seorang baby sitter untuk menjaga anak mereka. Dan tebak siapa yang harus mengalah meninggalkan profesinya? Jawabannya tentu saja ibu Lana.
"Padahal, bagi Ruruh, perempuan dilahirkan untuk mengalah. Karena, perempuan lebih kuat, lebih sanggup menerima kenyataan." ---hlm. 218
Sang ibu harus meninggalkan dunia tari yang sangat dicintainya demi keluarga. Lana pernah mengintip ibunya menari sendiri diam-diam di rumah dengan latar belakang cahaya senja. Bagi Lana, ibunya tampak seperti malaikat. Tapi kemudian seperti malaikat yang sayapnya patah, di tengah-tengah tariannya, ibu Lana menangis.
Lana yakin tangisan itu adalah tangisan penyesalan karena sang ibu tidak bisa menari lagi karena terjebak dalam sebuah komitmen. Sejak saat itu, Lana menjadi anti komitmen. Dia tidak akan mau mengalah dan mengorbankan karirnya.
Lalu bagaimana akhir kisah Lana dan Samuel? Apakah merekah akhirnya menyerah pada komitmen? Atau keduanya tetap memilih ego mereka masing-masing? Hayuuuk dibaca sendiri bukunya, hihihi.