***
Pramusaji mendekat, melontarkan senyum memesona kepada mereka.
"Halo, anak muda. Kau mau melihat menu anak-anak?"
Pembuluh darah di kening Artemis berdenyut denyut. "Tidak, Mademoiselle, aku tidak ingin melihat menu anak-anak. Aku yakin menu anak-anak itu sendiri rasanya lebih lezat daripada hidangan yang tercantum di sana. Aku ingin memesan a la carte. Kecuali kalian memang tidak menghidangkan ikan kepada orang yang belum cukup umur?"
Senyum pramusaji itu lenyap. Kosakata Artemis memang punya pengaruh seperti itu pada sebagian besar orang.
Butler memutar bola mata. Dan tadi Artemis bertanya-tanya siapa yang bakal punya keinginan membunuhnya. Daftar bisa dimulai dengan sebagian besar pramusaji dan penjahit di Eropa.
"Ya, Sir," gagap pramusaji yang sial itu. 'Apa pun yang Anda inginkan."
(Artemis Fowl dan Sandi Abadi, hlm. 13)
"Kau akan tenar di acara dansa sekolah, " komentar Butler.
"Apa?"
"Gadis malang tadi hampir menangis. Tidak ada ruginya bersikap ramah sesekali."
Artemis terkejut. Butler jarang sekali menawarkan pendapat mengenai masalah-masalah pribadi.
"Aku tidak bisa membayangkan diriku menghadiri acara dansa sekolah, Butler."
"Bukan dansa yang jadi intinya. Semua kembali pada masalah komunikasi."
(Artemis Fowl dan Sandi Abadi, hlm. 14)
Scene di atas saya ambil dari buku yang saat ini sedang saya baca, yaitu Artemis Fowl dan Sandi Abadi karya Eoin Colfer.
Nah, pernahkah kalian berada di posisi si pramusaji? Ketika kalian berusaha bersikap ramah terhadap seseorang tapi orang tersebut malah bersikap...errrr....kurang ramah sehingga seketika langsung menghapus senyum yang ada di wajah kalian dan membuat kalian ingin menangis? Kalau saya pernah.
Sebenarnya saya juga bukan orang yang memiliki wajah smiling face. Saya orangnya tertutup dan malu untuk menyapa orang lain duluan sehingga sering dianggap sombong. Jadi tak pantaslah saya menghakimi orang-orang seperti Artemis, yang cenderung bersikap "kurang ramah" kepada orang lain.
Lagipula saya juga tahu, ada banyak alasan dibalik sikap kurang ramah mereka itu. Mulai dari ingin jujur pada diri sendiri, penyampaian sikap ramah dengan cara atau standar yang berbeda, karena memang ada yang dia sombongkan (kekayaan, kepintaran, kecantikan, kekuasaan, kemandirian, dll.), karena malu, karena salah asuhan, karena orang tersebut seakan memang terlahir seperti itu (maka, beruntunglah orang-orang yang sudah ramah dari sononya) dan masih banyak alasan lainnya, *sotoy mode on*.
Dan karena saya orangnya pemalu, *uhuk*, saya perlu usaha lebih untuk bisa bersikap ramah. Jadi, ketika orang yang saya beri sikap ramah tersebut membalas dengan sikap yang kurang ramah menurut standar orang kebanyakan, well, senyum di wajah saya langsung menghilang, dan dalam beberapa kasus, saya jadi kepingin menangis. Seperti pramusaji dalam cerita Artemis tadi.
Namun, yang paling sering saya sesalkan adalah kalau saya sedang bad mood sehingga saya cenderung menghindari orang-orang yang saya tahu bakalan bersikap kurang ramah.
Misalnya jika saya ingin berbelanja di sebuah toko yang mana penjualnya secara sepihak saya cap sebagai orang "jutek", maka saya akan memilih berbelanja di toko lain yang penjualnya lebih ramah meskipun letaknya lebih jauh atau harganya lebih mahal.
Karena kalau lagi bad mood, saya bukannya kepingin nangis ketika diperlakukan tidak ramah. Saya malah balas jutek dan bersikap tidak kalah sinisnya kepada orang itu, *dikeplak pakai sandal*. Nah, tolong ini jangan ditiru, hahhah. Karena setelahnya, bukannya merasa puas, saya malah merasa tak enak hati.
Scene dari buku Artemis ini juga mengingatkan saya kepada seorang teman yang sikapnya selalu dalam mode tidak ramah. Padahal aslinya orangnya baik sekali.
Ironisnya, dia sering mengeluh karena selalu merasa dianggap tidak ada, terutama kalau berada tempat-tempat publik. Dia yakin itu karena dia memiliki penampilan yang kurang cantik menurut standar orang kebanyakan.
Tapi kalau menurut saya pribadi sih, itu lebih karena dia selalu memasang tampang "jutek+sinis+apa lo liat-liat" ke orang-orang. Wajar kalau orang-orang tersebut memilih menghindar sehingga seakan-akan dia merasa dianggap bahwa dirinya tak ada.
Salah satu alasan teman saya itu sering memasang tampang jutek itu adalah karena katanya lebih baik pasang tampang jujur apa adanya, daripada pasang tampang senyum tapi terpaksa.
Tapi whatever-lah, apa yang orang yakini memang beda-beda. Yang penting saya tahu kalau teman saya itu sebenarnya baik.
Sama seperti Artemis. Kalau dilihat secara perilaku, Artemis termasuk orang yang sikap dan gaya bicaranya kepingin minta tonjok. FYI, Artemis ini baru berumur kurang lebih 12 tahun. Tapi dia ini super kaya dan pintar luar biasa sehingga merasa tidak perlu menghormati orang lain.
Namun, Artemis adalah pahlawan kita dalam buku ini. Dan seperti kata Kapten Holly di buku sebelumnya, Artemis itu sebenarnya baik, tapi yah, sikap baiknya itu perlu lebih dikembangkan lagi XD
So, semoga scene ini bakalan saya ingat kalau kapan-kapan nanti saya bertemu lagi dengan orang-orang macam si Artemis ini. Saya akan ucapkan "mantra" mereka sebenarnya baik...mereka sebenarnya baik...untuk membentengi hati saya (yaelah hati) agar tidak merasa terluka oleh sikap mereka, *uhuk*.
Dan semoga scene ini juga bakalan saya ingat kalau mode sikap tidak ramah saya juga sedang on, *eh*. Saya akan ingat kata-kata Butler: "Tidak ada ruginya bersikap ramah sesekali".
Oke, ini dia scene pilihan saya untuk tanggal 23 hari ini. Bagaimana dengan kalian? Adakah scene menarik dari buku yang sedang kalian baca? Kalau ada, yuk dishare. Klik link ini untuk detail cara mainnya ya.
Have a nice "23" for you \^_^/