Judul: Aku dan Buku | Pengarang: Busyra, Abduraafi Andrian, Maura Fanessa, Truly Rudiono, Pauline Destinugrainy Kasi, Teddy W. Kusuma, Nurina Widiani, Alvina Ayuningtyas, Selviya Hanna | Editor: Dion Yulianto | Penerbit: bukuKatta| Edisi: Bahasa Indonesia, Cetakan I, April 2018 | Jumlah halaman: 100 halaman, 13 x 19 cm | Beli di: DioMedia | Harga: Rp45.000,- | Rating saya: 4 dari 5 bintang
Blurb:
Buku memang memiliki kekuatan ajaib untuk memindahkan pembaca menuju tempat-tempat dan waktu-waktu yang jauh. Buku juga memungkinkan pembaca mengalami petualangan yang mungkin tak akan pernah bisa mereka alami di dunia nyata, termasuk petualangan cinta. Orang bilang, kisah cinta yang sempurna hanya ada di novel-novel picisan semata. Tetapi, dari kisah-kisah cinta yang mungkin terlalu indah untuk menjadi nyata ini banyak orang menemukan suaka kehidupannya. Seperti satu pembaca genre roman yang turut berbagi kisahnya di buku ini. Baginya, cerita-cerita roman telah memberinya semangat dan kekuatan untuk jatuh cinta setiap harinya. Ia jatuh cinta pada kehidupannya, pada keluarganya, pada pekerjaannya, kepada apa pun bagian hidup keseharian yang tengah dijalaninya sehingga apa pun halangan yang datang akan tetap disyukuri. Bahkan katanya, membaca cerita cinta bisa membuat kita jatuh cinta untuk kedua dan ketiga kalinya tanpa benar-benar berkhianat. Manis sekali.
Kolaborasi menulis "Aku dan Buku" memuat kisah-kisah intim seorang pembaca dan buku.
My Review
Setelah lama nangkring di wishlist, akhirnya saya berjodoh juga dengan buku ini.
Aku dan Buku, dari judulnya saya rasa buku ini adalah sebuah buku tentang buku. Buku dengan tema seperti ini selalu menarik perhatian saya. Apalagi kalau buku tersebut memiliki cover berwarna cokelat dan bergambar secangkir kopi. Tiba-tiba saja saya langsung terbayang betapa nikmatnya membaca buku sambil ditemani secangkir kopi, *uhuk*.
Ngomong-ngomong, saya mengenal beberapa penulisnya sebagai anggota dari komunitas Blogger Buku Indonesia, *sokkenal*. Jadi menurut pendapat sepihak saya, kisah mereka tentang kecintaan terhadap buku sudah tidak diragukan lagi.
Ada 9 kisah tentang "Aku dan Buku" di buku ini. Plus satu lagi sama tulisan editornya yang tidak kalah menariknya.
Ada kisah tentang perpustakaan, tentang kecintaan terhadap buku romance, tentang asuransi buku, tentang buku sebagai teman seorang introver, dan lain-lain. Favorit saya adalah terjemahan essay Neil Gaiman.
Kemudian ada banyak kutipan yang saya suka dari buku ini. Kalau kalian lihat foto buku di atas, post-it berwarna hijau saya sampai habis saking banyaknya halaman yang saya tandai, hahhah.
Salah satu kutipan favorit saya ada di kisah Perpustakaan, Penggerak Literasi Tanpa Tanda Jasa yang ditulis oleh Busyra:
Jika boleh saya katakan, sesungguhnya masyarakat kita bukannya tidak suka membaca, mereka hanya terjebak dalam lingkungan yang tidak mendukung untuk membaca lebih banyak. (Aku dan Buku, hlm. 13)
Saya setuju pakai banget dengan kutipan di atas. Baik di rumah ataupun di kantor, saya selalu dianggap "sedang ga ada kerjaan" kalau sedang membaca buku. Alhasil, saya selalu diminta tolong untuk melakukan kegiatan lain. Yang aneh, ketika saya memegang gadget, malah tidak ada yang mengganggu. Padahal kalau lama memegang gadget itu artinya saya sedang main game atau "main medsos", hohoho. Jadi supaya tenang, saya hanya bisa membaca tengah malam saat yang lain tidur. Malangnya, hiks.
Terus ada satu tulisan yang kayaknya "saya banget". Ditulis oleh Mbak Desty dengan judul Buku di Ujung Jarimu. Bukan secara keseluruhan sih "saya banget"-nya, soalnya saya tidak merasa bakalan kehabisan bacaan seperti Mbak Desty karena saya pengunjung setia perpustakaan dan penimbun akut, hihihi.
Bagian yang "saya banget" itu adalah di bagian dimana Mbak Desty harus menyingkirkan buku-bukunya untuk sementara karena baru saja punya bayi. Itulah yang terjadi dengan saya saat ini. Saya punya kesibukan baru mengurus bayi kecil saya yang lucu. Buku-buku untuk sementara terpaksa harus disingkirkan. Pernah saya nekat membaca buku cetak sambil menjaga bayi saya. Alhasil beberapa bagian dari buku tersebut sobek, hiks.
Sayangnya, tidak seperti Mbak Desty yang merasa nyaman membaca buku digital yang tentu saja anti robek, saya masih tidak terbiasa membaca buku di gadget. Selain tidak nyaman, saya merasa godaan main game dan main medsosnya lebih kuat ketimbang godaan membaca, mbuahaha, *kenakeplak*.
At last, buku ini masih ada typo-nya sih. Tapi ampuh mengembalikan minat baca saya. So, 3 dari 5 bintang untuk buku ini. I liked it.
***
Kutipan-kutipan favorit dari buku ini:
Para ahli sepakat bahwa membaca ibarat olahraganya otak. Jika raga membutuhkan gerak tubuh agar tetap sehat maka pikiran juga membutuhkan gerak pikiran untuk menjaganya tetap waras. Dan, salah satu gerak pikiran itu adalah dengan membaca. ---hlm. 5
Jika boleh saya katakan, sesungguhnya masyarakat kita bukannya tidak suka membaca, mereka hanya terjebak dalam lingkungan yang tidak mendukung untuk membaca lebih banyak. ---hlm. 13
Berburu buku buluk atau berdesak-desakan menunggu pembukaan area diskon di pameran buku adalah jauh lebih menyenangkan bagi seorang pecinta buku ketimbang menunggu acara midnight sale pakaian terkini di mal mentereng. Begitulah adanya, kecintaan seseorang terhadap suatu kegiatan atau benda kadang bisa membuatnya melakukan hal-hal yang tak masuk akal. ---hlm. 37
Bahkan, saya rela mengorbankan waktu tidur malam demi menghabiskan membaca sebuah novel.---hlm. 42)
Kalau dulu saya bisa menghabiskan kurang lebih 20 novel dalam sebulan, saya hanya bisa membaca 5 buku dalam sebulan semenjak menjadi newly mom. Boro-boro membaca buku sebelum tidur, saya malah ikut tertidur ketika bayi saya sudah tidur. Untuk sekadar membuka buku, memegangnya, dan membalik halamannya saja rasanya sudah berat. Saya sedih. Saya merindukan buku. Saya frustasi karena tidak punya waktu membaca buku.---hlm. 43)
Kami memang jiwa-jiwa yang kehausan akan romantisme tapi bukan kemudian kami jadi mudah terpedaya. Kami bisa jatuh cinta berkali-kali pada karakter fiktif tapi untuk jatuh cinta dan menyerahkan segalanya pada seorang makhluk nyata, tentunya dia harus melebihi atau setidaknya sama dengan karakter idola kami. Sebutlah kami pemimpi, pengkhayal, atau sebutan apa pun. Tapi, mimpi itulah yang membuat kami nggak mudah "mengangkangkan" kaki. ---hlm. 63
Saya ingin mereka bisa memahami karakter-karakter manusia yang bisa ditemukan di dalam novel. Dengan begitu, mereka bisa menjadi pribadi yang lebih kaya dalam wawasan dan empati. ---hlm. 66)
Buku menjadi penghubung antara kita yang masih hidup dan mereka yang sudah tiada. Cara kita belajar dari mereka yang tidak lagi bersama kita, bahwa umat manusia dibangun di atas pilar-pilar para pendahulu, dikembangkan, dan dirancang sedemikian rupa sehingga pengetahuan menjadi sesuatu yang terus tumbuh, ketimbang sesuatu yang harus dipelajari secara berulang-ulang. Terdapat kisah yang jauh lebih tua dari negara asalnya, yang bertahan jauh lebih lama dari kebudayaan yang mengilhaminya, dan penggambaran megah bangunan langsung dari masanya. ---hlm. 13
Kita sebagai penulis---semua penulis pada umumnya dan khususnya penulis buku anak-anak---memiliki kewajiban terhadap pembaca kita. Hal ini sangat penting, terutama saat kita menulis mengenai orang dan tempat yang sebenarnya tidak ada---untuk memahami bahwa tulisan yang nyata bukanlah tentang sesuatu yang benar-benar terjadi, tapi tentang apa yang kita pelajari dari diri kita setelah membaca tulisan tersebut. Karena pada akhirnya, fiksi adalah sebuah kebohongan yang berkisah tentang kebenaran. ---hlm. 95
Obat untuk melawan rasa malas membaca adalah sebuah dongeng yang membuat jari mereka tidak bisa berhenti membalik halaman. ---hlm. 96